Oleh : Salahudin
( Dosen Ilmu
Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Semua orang sepakat politik uang merusak
eksistensi demokrasi sebagai system uang melahirkan oligarki politik yaitu
kekuasaan dipegang oleh segelintir orang. Politik uang menciptakan budaya politik masyarakat yang tidak berkeadaban. Masyarakat
akan terbiasa dengan politik transaksional pragmatis sehingga melahirkan pemimpin
politik dan pemerintah yang pragmatis pula.
Kepemimpinan pragmatis membuat kebijakan
pembangunan tidak berpihak kepada rakyat. Pemimpin menjadikan kekuasaan dan
kewenangan sebagai sarana untuk kepentingan pribadi dan golongan. Akhir-akhir
ini, fenomena tersebut sangat tampak dalam keseharian kita seperti menjamurnya
kasus korupsi di segala level struktur politik dan pemerintah.
Demokrasi menghendaki adanya kompetisi
politik yang berasaskan keadilan, kejujuran, dan bertanggung jawab. Ajaran
demokrasi ini sepertinya sebatas normatif sedangkan praktiknya ‘jauh panggang
dari api’. Para politisi dalam pemilihan presiden, kepala daerah, legislative hingga
pemilihan kepala desa harus menyiapkan anggaran yang tidak sedikit untuk
memenangkan pertarungan.
Apabila anggaran tidak dimiliki sepertinya
kepercayaan diri untuk bertarung dalam politik tidak dimiliki. Biasanya,
anggaran untuk pembiayaan politik tidak ditanggung sendiri oleh politisi.
Mereka bekerjasama dengan stakeholder (bosissem) yang berkepentingan dan
pastinya saling menguntungkan.
Anggaran yang disediakan untuk pembiayaan
partai politik sebagai kendaraan, tim sukses, marketing politik, dan kampanye
politik. Meskipun sudah ada mekanisme jalur independen (tanpa partai politik),
para politisi lebih percaya diri menggunakan partai politik sebagai backing-an.
Politisi membayar partai politik dengan biaya disesuaikan dengan kekuatan
politik yang dimiliki partai politik.
Semakin besar kekuatan politik yang dimiliki
partai maka harganya semakin mahal. Tentu saja, para politisi lebih memilih
partai politik yang memiliki kekuatan besar dalam politik. Dan karena itu,
politisi harus mengeluarkan banyak uang untuk partai politik. Meskipun para
politisi sudah memiliki partai sebagai kendaraan (bancking-an), para politisi
tetap harus memiliki tim sukses.
Tim sukses sebagai “pejuang” pemenangan
politik. Tim sukses berperan penting dalam mencitrakan, memperkenalkan, dan
mengatur strategi politik untuk mencapai kemenangan. Para politisi harus
mengeluarkan biaya banyak untuk tim sukses. Biasanya lebih banyak anggaran untuk
pembiayaan tim sukses dari pada untuk pembiayaan partai politik.
Anggaran untuk marketing politik tidak kalah
banyak dari pembiayaan partai politik dan tim sukses. Marketing politik dilakukan
melalui segala bentuk media seperti media cetak, elektronik, online, baliho, spanduk,
stiker, kaos, dan bukubuku kecil yang dianggap representaif untuk pencitraan
politik politisi.
Biasanya para politisi habis-habisan menggelontorkan
uang untuk kesuksesan kampanye. Pada kegiatan kampanye, transaksional politik
tidak lagi antara elit dengan elit tetapi sudah mengarah antara politisi (elit)
dengan massa (pemilih). Pada saat kegiatan kampanye, politisi turun langsung
untuk berhadapan dengan pemilih. Pemilih pragmatis memanfaatkan kesempatan ini
untuk mendapatkan uang dari politisi.
Tidak jarang pemilih menerima uang dari semua
politisi yang ikut dalam kompetisi. Disisi lain, politisi pun ikut memanjakan
pemilih dengan member uang sebagai bayaran suara. Suara pemilih bagai barang
diperjual belikan.
Pemimpin yang dibentuk melalui uang secara
langsung berpengaruh pada kinerja buruk dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Mereka menjadikan kekuasaan dan kewenangan sebagai sarana untuk menggalang
keuntungan pribadi dan golongan sebanyak-banyaknya hingga dapat mengembalikan
dan bahkan melebihi anggaran yang dikeluarkan untuk pembiayaan pemilihan.
Banyak cara (modus) yang dilakukan oleh
pemimpin untuk mendapatkan keuntungan diantaranya membuat kebijakan yang
diarahkan untuk kepentingan pribadi seperti menjualbelikan ijin usaha, melakukan
eksplorasi sumber daya alam, memperjual belikan jabatan struktural pemerintah,
melakukan mark-up anggaran, mengangkat dan menempatkan keluarga dalam struktur
pemerintah, dan banyak cara-cara lain yang dilakukan. Janji-janji politik yang
disampaikan pada saat kampanye tidak lagi menjadi prioritas.
Sedangkan masyarakat tidak dapat berbuat
banyak dan justru tidak jarang masyarakat membiarkan (permisif) terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh sang pemimpin. Masyarakat cukup
paham, “penyimpangan yang dilakukan sang pemimpin dalam rangka mengembalikan
anggaran yang dikeluarkan untuk biaya politik”. Siklus politik seperti ini
mengakar kuat dalam politik pemilihan pemimpin secara langsung.
Pemilihan pemimpin secara langsung dijadikan
sebagai momen perjudian politik yang besar-besaran dan sulit dikendalikan oleh
siapapun. Siklus politik di atas menunjukkan bentuk demokrasi kriminal yang diistilahkan
oleh Mahfud MD, mantan ketua Mahkama Konstitusi Republik Indonesia. Menurut
Mahfud, demokrasi ideal yang diharapkan menjelma menjadi oligarki dan kemudian
menjadi demokrasi kriminal. Menurutnya, siklus ini diawali dari perilaku
politisi yang mengedepankan uang dalam berpolitik.
Politisi sengaja menciptakan suasana politik
(budaya politik) seperti ini dalam rangka mempermudah meraih kekuasaan sebagai alat
dominasi dan eksploitasi politik dalam segala bentuk.
Apabila siklus politik seperti ini terus
berlangsung, bukan tidak mungkin ke depan bangsa Indonesia akan mengalami
kehancuran yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Karena itu, upaya untuk
menghancurkan politik uang harus dipikirkan secara serius.
Hemat saya, secara normatif upaya yang perlu
dikedepankan adalah perlunya optimalisasi kebijakan pembatasan biaya kampanye
(Pilpres, Pilkada, Caleg, dan Pilkades), melarang partai politik untuk menerima
uang dari politisi politik, melakukan audit keuangan partai politik, mewajibkan
para petarung dalam Pilpres, Pilkada, Caleg, dan Pilkades untuk melaporkan hak
kekayaan yang dimiliki, dan menegakkan aturan hukum tentang sanksi bagi oknum
yang melakukan money politic.
Selain itu, upaya prefentif perlu
dikedepankan dengan membangun budaya politik masyarakat yang berkeadaban
melalui pendidikan dan sosialisasi politik intensif dengan sarana pendidikan
formal dan non formal.
Dua bentuk upaya tersebut adalah sedikit dari
upaya lain yang perlu dilakukan guna mewujudkan dan membangun demokrasi ideal
dalam politik sehingga mencapai peradaban bangsa yang lebih baik. Sudah saatnya
meninggalkan politik uang demi masa depan bangsa yang lebih baik. Semoga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar